Oleh: AGUS SUHENDAR
PIMPINAN REDAKSI
Balance News || Kab Bandung, Jabar – Setiap tahun, ribuan pelajar di Jawa Barat menaruh harapan besar pada satu momen yang menentukan. Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB). Tahun 2025 tidak berbeda. Bahkan, antusiasme peserta tampak lebih tinggi dari sebelumnya. Namun, di balik riuhnya semangat itu, tersimpan ironi yang tak bisa diabaikan: ketimpangan akses, ketidakjelasan sistem, dan aroma diskriminasi yang perlahan terendus.
Antara Antusiasme Dan Tantangan : SPMB Jawa Barat 2025 Dalam Sorotan Jurnalis Serta Kacamata Hukum
Sebagai jurnalis yang bertahun-tahun meliput dunia pendidikan, saya menyaksikan bagaimana SPMB bukan hanya soal seleksi akademik, tetapi juga panggung pengujian terhadap integritas birokrasi pendidikan. Tahun ini, sejumlah peserta dari daerah pelosok mengeluhkan kesulitan dalam mengakses sistem pendaftaran online. Yang lain merasa diperlakukan tidak adil karena berasal dari sekolah non-favorit.
Baca juga : SPMB SMAN 1 Baleendah Dilaksanakan Secara Bersih, Objektif, Tranfaransi, Dan Akuntabel
Pertanyaannya: apakah SPMB masih menjunjung azas transparansi dan keadilan sebagaimana di atur dalam Permendikbud No. 6 Tahun 2020 tentang Penerimaan Mahasiswa Baru dan prinsip-prinsip pelayanan publik dalam UU No. 25 Tahun 2009?
Publik berhak tahu, dan tugas jurnalisme bukan sekadar menyampaikan kabar baik, tetapi juga mengangkat yang tertindas oleh sistem. Jika ada celah yang di manfaatkan oleh oknum panitia untuk kepentingan pribadi—entah dalam bentuk suap, permainan kuota, atau manipulasi penilaian—maka media harus menjadi garda terdepan dalam membongkarnya.
Kami pun menerima sejumlah laporan off-the-record dari orang tua siswa yang mengindikasikan adanya praktik tak sehat dalam proses verifikasi. Beberapa bahkan menyebutkan adanya “jalan belakang” untuk masuk ke kampus favorit di kota besar. Ini bukan sekadar rumor; ini alarm yang seharusnya menyentak nurani para penyelenggara pendidikan.
Sebagai jurnalis, kami meminta:
- Transparansi menyeluruh dalam mekanisme seleksi, termasuk publikasi kuota, kriteria penilaian, dan proses verifikasi;
- Akses jurnalis ke ruang-ruang pengambilan kebijakan, agar publikasi tak hanya jadi tempelan formal, tapi betul-betul mengabdi pada kontrol sosial;
- Perlindungan bagi pelapor, baik siswa, orang tua, maupun tenaga pendidik, yang berani membuka praktik kecurangan;
- Peningkatan partisipasi media lokal dan nasional dalam mengawasi proses ini secara independen.
SPMB 2025 seharusnya menjadi jembatan menuju masa depan yang adil, bukan menjadi permainan eksklusif yang hanya di menangkan oleh mereka yang punya koneksi, kuasa, atau modal.
Dalam jurnalistik, kami meyakini bahwa suara yang paling lemah adalah yang paling layak di perjuangkan. Untuk itu, pelaksanaan SPMB Jawa Barat 2025 harus kita kawal bersama—dengan pena, dengan kamera, dan dengan keberanian untuk menyuarakan kebenaran, sekalipun itu pahit.
Secara Kacamata Hukum
Seraras dengan Pandangan dari Seorang Praktisi Hukum yang menyorot secara Kacamata Hukum,yang kami berhasil wawancarai adalah Bapak IN-IN INDRA S, S.Pd.I.,SH.,MH beliau menyapaikan sebagai berikut :
Sebagai praktisi hukum, saya memandang pelaksanaan Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) Jawa Barat 2025 bukan hanya sebagai proses akademik semata. Melainkan juga sebagai mekanisme administratif yang wajib tunduk pada prinsip akuntabilitas, transparansi, dan non-diskriminasi sebagaimana di amanatkan dalam berbagai regulasi nasional.
SPMB, sebagai bagian dari layanan publik di bidang pendidikan, harus merujuk pada Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, serta prinsip umum penyelenggaraan negara sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Kedua aturan ini secara tegas menuntut proses seleksi yang objektif, bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Namun, praktik di lapangan tidak selalu seindah teorinya. Keluhan terkait akses informasi yang terbatas, dugaan diskriminasi terhadap peserta dari daerah atau sekolah tertentu, hingga potensi manipulasi skor seleksi, menjadi alarm penting bagi kita semua, terutama aparat penegak hukum dan pengawas independen.
Jika di temukan adanya praktik manipulasi data, suap dalam proses seleksi, atau penyalahgunaan kewenangan oleh oknum penyelenggara, maka hal tersebut. Dapat dijerat dengan Pasal 3 dan Pasal 12 huruf e UU Tipikor (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001), serta berpotensi melanggar UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN bila melibatkan pejabat publik.
Tak hanya itu, diskriminasi terhadap peserta dengan latar belakang ekonomi atau daerah tertentu dapat bertentangan dengan semangat Pasal 28D UUD 1945 tentang hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan, serta asas keadilan dalam pendidikan.
Sebagai Praktisi Hukum
Saya mendorong agar masyarakat lebih berani menyuarakan ketidakadilan yang di alaminya, serta melaporkan jika ada indikasi pelanggaran dalam proses. SPMB ini, Proses pendidikan yang adil adalah fondasi bagi lahirnya generasi yang berintegritas.
SPMB Jawa Barat 2025 sejatinya adalah cermin kualitas sistem tata kelola pendidikan kita. Di antara antusiasme para siswa dan tantangan sistemik yang ada, penting bagi seluruh pemangku kepentingan untuk menjadikan hukum sebagai rambu, bukan sekadar formalitas.
Pewarta : Abeng BLC
RedBN