alance News || Kab Bandung — HAK-HAK WARGA NEGARA MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)
Sebagai Negara Hukum, Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menjunjung tinggi hak asasi manusia dan perlindungan terhadap warga negara. Hak warga negara di lindungi oleh negara baik warga negara dalam status tersangka, terdakwa, terpidana ataupun sebagai warga negara yang bebas, dan tidak membedakan jenis kelamin, umur, suku agama dan lain-lain.
Hak warga negara merupakan hak asasi manusia yang dijamin didalam ketentuan UUD 45 pada pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J. Selain didalam UUD 45, perlindungan terhadap hak warga negara dijamin didalam Undang-undang No. 9 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana selanjutnya dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) serta beberapa Undang-undang lain yang relevan.
HAK-HAK WARGA NEGARA MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)
Tulisan ini akan membahas mengenai hak warga negara yang di atur didalam KUHAP. Tulisan ini akan lebih fokus kepada perlindungan terhadap hak warga negara yang terlibat di dalam peristiwa pidana, baik itu sebagai tersangka, terdakwa, terpidana dan juga perlindungan terhadap hak saksi atau korban tindak pidana.
Di samping itu tulisan ini akan mengutip hak-hak warga negara yang sedang menjalani proses peradilan pidana yang di atur oleh Undang-undang lain selain KUHAP yang relevan, misalnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat dan Undang-undang lainnya.
Di dalam pertimbangan huruf a KUHAP atau menyebutkan bahwa :
“a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Ketentuan di atas memperjelas bahwa negara menjamin perlindungan hak warga negara tanpa ada kecualinya.. KUHAP sebagai pedoman pengatur Acara Pidana Nasional, wajib di dasarkan pada falsafah/pandangan hidup bangsa dan dasar negara, maka sudah seharusnyalah di dalam ketentuan materi pasal atau ayat tercermin perlindungan terhadap hak asasi manusia serta kewajiban warga negara. Asas yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia telah di letakkan di dalam Undang-undang nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah di buah menjadi Undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, harus di tegakkan dengan KUHAP.
Adapun asas tersebut antara lain adalah :
• Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
• Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. • Tidak seorang pun dapat di hadapkan di depan pengadilan selain daripada yang di tentukan oleh undang-undang.
• Tidak seorang pun dapat di jatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktianyang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang di anggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang di dakwakan atas dirinya. • Tidak seorang pun dapat di kenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang di atur dalam undang-undang.
• Setiap orang yang di sangka, di tangkap, di tahan, di tuntut, dan/atau di hadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, • Setiap orang yang di tangkap, di tahan, di tuntut, atau di adili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang di terapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi. • Warga negara yang menjadi tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana tidak lagi di pandang sebagai “obyek” tetapi sebagai “subyek” yang mempunyai hak dan kewajiban dapat menuntut ganti rugi atau rehabilitasi apabila petugas salah tangkap, salah tahan, salah tuntut dan salah hukum.
Tulisan ini akan membahas mengenai hak warga negara yang di atur di dalam KUHAP. Tulisan ini akan lebih fokus kepada perlindungan terhadap hak warga negara yang terlibat di dalam peristiwa pidana, baik itu sebagai tersangka, terdakwa, terpidana dan juga perlindungan terhadap hak saksi atau korban tindak pidana.
Di samping itu tulisan ini akan mengutip hak-hak warga negara yang sedang menjalani proses peradilan pidana yang di atur oleh Undang-undang lain selain KUHAP yang relevan, misalnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat dan Undang-undang lainnya.
PROSES PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN
Hak Tersangka untuk di dampingi Penasehat Hukum
Warga negara yang menjadi tersangka berhak untuk di damping oleh Penasehat Hukum. Untuk kepentingan pembelaan dalam proses peradilan pidana seorang warga negara yang menjadi tersangka berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan (pasal 54 KUHAP). Selain itu seorang tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasehat hukumnya (pasal 55 KUHAP).
Bagi tersangka atau terdakwa yang di sangka atau di dakwa melakukan tindak pidana yang di ancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang di ancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka. (pasal 56 ayat (1) KUHAP). Pemberian bantuan hukum oleh penasehat hukum tersebut di berikan kepada tersangka atau terdakwa secara cuma-cuma (pasal 56 ayat (2) KUHAP).
Jika tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana di kenakan penahanan, maka dia berhak untuk menghubungi penasehat hukumnya ( Pasal 57 KUHAP ayat (1) KUHAP). Selain itu berdasarkan ketentuan pasal 37 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, setiap orang yang tersangkut perkara berhak mendapatkan bantuan hukum.
Bantuan hukum dalam pasal ini di berikan oleh seorang penasehat hukum atau saat ini lebih di kenal dengan “advokat”. Dan menurut ketentuan pasal 38 Undang –Undang Nomor 4 tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, seorang tersangka sejak saat di lakukan penangkapan dan/atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan advokat.
HAK-HAK WARGA NEGARA MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)
PENANGKAPAN
Definisi penangkapan menurut pasal 1 butir 20 KUHAP adalah “suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan.
Jangka waktu penangkapan hanya berlaku paling lama untuk jangka waktu 1 hari (24 jam). Sebelum di lakukan suatu penangkapan oleh pihak kepolisian maka terdapat syarat materiil dan syarat formil yang harus di penuhi terlebih dahulu. Yang di maksud dengan syarat materiil adalah adanya suatu bukti permulaan yang cukup bahwa terdapat suatu tindak pidana.
Sedangkan syarat formil adalah adanya surat tugas, surat perintah penangkapan serta tembusannya. Apabila dalam waktu lebih dari 1 x 24 jam, tersangka tetap di periksa dan tidak ada surat perintah untuk melakukan penahanan, maka tersangka berhak untuk segera di lepaskan.
Perintah penangkapan menurut ketentuan pasal 17 KUHAP di lakukan terhadap seorang yang di duga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Berdasarkan penjelasan pasal 17 KUHAP, definsi dari “bukti permulaan yang cukup”ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan ketentuan pasal 1 butir .Pasal ini menunjukan bahwa perintah penagkapan tidak dapat di lakukan dengan sewenang-wenang, tetapi di tujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.
Di samping itu ada pendapat lain mengenai “bukti permulaan yang cukup” , yaitu menurut Darwan Prints,SH, dalam bukunya Hukum Acara Pidana dalam praktek, Penerbit Djambatan dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, cetakan revisi tahun 2002, halaman 50-51, bukti permulaan yang cukup adalah :
Menurut Surat Keputusan Kapolri SK No. Pol. SKEEP/04/I/1982.
Kapolri dalam surat keputusannya No. Pol.SKEEP/04/1982,tanggal 18 Februari menentukan bahwa, bukti permulaan yang cukup itu adalah bukti yang merupakan keterangan dan data yang terkandung di dalam dua di antara:
• Laporan Polisi;
• Berita Acara Pemeriksaan di TKP;• Laporan Hasil Penyelidikan;• Keterangan Saksi/saksi ahli; dan• Barang Bukti.
Yang telah di simpulkan menunjukan telah terjadi tindak pidana kejahatan (Din Muhamad, S.H.1987 : 12)
Menurut drs. P. A. F Lamintang, SH
“Bukti permulaan yang cukup dalam rumusan pasal 17 KUHAP itu harus di artikan sebagai bukti-bukti minimal, berupa alat-alat bukti seperti di maksud dalam Pasal 184 (1) KUHAP, yang dapat menjamin bahwa Penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan penyidikannya terhadap seseorang yang di sangka melakukan tindak pidana setelah terhadap orang tersebut di lakukan penangkapan (drs.P.A.F.Lamintang,SH.1984 : 117).
Menurut Rapat Kerja MAKEHJAPOL tanggal 21 Maret 1984
Bukti permulaan yang cukup seyogyanya minimal: Laporan Polisi di tambah salah satu alat bukti lainnya (Din Muhamad, S.H.1987 : 12).
Adapun pihak yang berwenang hak melakukan penangkapan menurut KUHAP adalah :
Penyidik yaitu :
• Pejabat polisi Negara RI yang minimal berpangkat inspektur Dua (Ipda).• Pejabat pegawai negeri sipil yang di beri wewenang khusus UU, yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (Golongan II/b atau yang di samakan dengan itu).
Penyidik pembantu, yaitu :
• Pejabat kepolisian Negara RI dengan pangkat minimal brigadir dua (Bripda).
• Pejabat pegawai negeri sipil di lingkungan kepolisian Negara RI yang minimal berpangkat Pengatur Muda (Golongan II/a atau yang di samakan dengan itu).
Kecuali tertangkap tangan melakukan tindak pidana, warga negara berhak menolak penangkapan atas di rinya yang di lakukan oleh pihak di luar ketentuan di atas.
Warga negara yang di duga sebagai tersangka dalam peristiwa pidana berhak melihat dan meminta surat tugas dan surat perintah penangkapan terhadap di rinya. Hal ini sebagaimana ketentuan pasal 18 ayat (1) KUHAP yang menyatakan :
“Pelaksanaan tugas penangkapan. di lakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang di persangkakan serta tempat ia diperiksa”.
Saat di lakukan penangkapan terhadap tersangka, tersangka berhak bebas dari segala tindakan penyiksaan ataupun intimidasi dalam bentuk apapun dari aparat yang menangkapnya.
Keluarga tersangka berhak untuk mendapat tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana di maksud dalam pasal 2 ayat (1) KUHAP, segera setelah penangkapan terhadap tersangka di lakukan.
HAK-HAK WARGA NEGARA MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)
Definisi Penahanan sebagaimana ketentuan pasal 1 butir (21) KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh Penyidik atau Penuntut Umum atau Hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang di atur menurut Undang-undang ini.
Pada prinsipnya penahanan adalah pembatasan kebebasan bergerak seseorang yang merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang harusnya di hormati dan di lindungi oleh negara.
Namun, penahanan yang di lakukan terhadap tersangka/terdakwa oleh pejabat yang berwenang di batasi oleh hak-hak tersangka/terdakwa dan peraturan-peraturan yang harus di laksanakan secara limitatif sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam KUHAP.
Adapun pihak-pihak yang berwenang melakukan penahanan dalam berbagai tingkat pemeriksaan sebagaimana ketentuan pasal 20 KUHAP antara lain :
1. Untuk kepentingan penyidikan, yang berwenang melakukan penahanan adalah penyidik;
2. Untuk kepentingan penuntutan, yang berwenang adalah penuntut umum;3. Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang Pengadilan, yang berwenang untuk menahan adalah Hakim.
Syarat-syarat untuk dapat di lakukan penahanan dibagi dalam 2 syarat, yaitu:
1. Syarat Subyektif. Di namakan syarat subyektif karena hanya tergantung pada orang yang memerintahkan penahanan tadi, apakah syarat itu ada atau tidak. Syarat subyektif ini terdapat dalam Pasal 21 ayat (1), yaitu:
a. Tersangka/terdakwa diduga keras melakukan tindak pidana;
b. Berdasarkan bukti yang cukup;
c. Dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka/terdakwa: • Akan melarikan diri • Merusak atau menghilangkan barang bukti• Mengulangi tindak pidana.
Untuk itu di haruskan adanya bukti-bukti yang cukup, berupa Laporan Polisi di tambah dua alat bukti lainnya, seperti: Berita Acara Pemeriksaan Tersangka/Saksi, Berita Acara di tempat kejadian peristiwa, atau barang bukti yang ada.
2. Syarat Obyektif. Di namakan syarat obyektif karena syarat tersebut dapat di uji ada atau tidak oleh orang lain. Syarat obyektif Ini di atur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP yaitu:
a. Tindak pidana itu di ancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
b. Tindak pidana yang ancaman hukumannya kurang dari lima tahun, tetapi di tentukan dalam:
• Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu: Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1) , Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1). Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480, Pasal 506;
• Pelanggaran terhadap Ordonantie Bea dan Cukai;• Pasal 1, 2 dan 4 Undang-undang No. 8 Drt Tahun 1955 (Tindak Pidana Imigrasi) yaitu antara lain: tidak punya dokumen imigrasi yang sah, atau orang yang memberikan pemondokan atau bantuan kepada orang asing yang tidak mempunyai dokumen imigrasi yang sah;• Tindak Pidana dalam Undang-undang No.9 Tahun 1976 tentang Narkotika.
Dari uraian kedua syarat tersebut yang terpenting adalah syarat obyektif sebab penahanan hanya dapat di lakukan apabila syarat-syarat yang di tentukan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP itu di penuhi.
Sedangkan syarat yang terkandung dalam Pasal 21 ayat (1) biasanya di pergunakan untuk memperkuat syarat yang terkandung dalam Pasal 21 ayat (4) dan dalam hal-hal sebagai alasan mengapa tersangka di kenakan perpanjangan penahanan atau tetap di tahan sampai penahanan itu habis.
Dalam melaksanakan penahanan terhadap tersangka / terdakwa, maka pejabat yang berwenang menahan harus di lengkapi dengan Surat perintah penahanan dari Penyidik, Surat perintah penahanan dari Jaksa Penuntut Umum atau Surat penetapan dari Hakim yang memerintahkan penahanan itu.
Tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan Surat Perintah penahanan atau penahanan lanjutan yang berisikan Identitas Tersangka / Terdakwa, Alasan Penahanan. Uraian Singkat perkara kejahatan yang di persangkakan atau di dakwakan, dan Tempat di mana Tersangka/Terdakwa ditahan. Tembusan Surat Perintah Penahanan atau Penahanan Lanjutan atau Penetapan Hakim itu, harus di berikan kepada keluarga Tersangka/Terdakwa.
HAK-HAK WARGA NEGARA MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)
Jenis-jenis Penahanan yang di atur dalam pasal 22 ayat (1) KUHAP adalah Penahanan Rumah Tahanan Negara, Penahanan Rumah serta Penahanan Kota. Penahanan rumah di laksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
Sedangkan Penahanan kota di laksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu yang di tentukan.
Pengecualian dari jangka waktu penahanan sebagaimana di atur dalam Pasal 24, 25, 26, 27, 28 KUHAP, untuk kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka/ terdakwa dapat di perpanjang dengan alasan yang patut dan tidak dapat di hindarkan karena:
• Tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang di buktikan dengan surat keterangan dokter, atau
• Perkara yang sedang di periksa di ancam dengan pidana 9 tahun atau lebih (Pasal 29 ayat (1) KUHAP).
HAK-HAK WARGA NEGARA MENURUT KUHAP | 1
Pewarta : IN-IN INDRA S, S.Pd.I., S.H.,MH